Kenapa kau masih tidak
bisa melupakannya? Apa yang dia lakukan untukmu sampai kau seperti ini
kepadanya? Apa dia memberimu kabar setiap hari? Apa dia memberimu bunga setiap
hari? Apa dia mengucapkan ‘Selamat pagi’ setiap kau membuka mata di pagi hari?
Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di otakku. Apa yang
harus aku lakukan sekarang? Aku tidak tau. Aku merindukannya. Sungguh. Sudah
lima tahun kita tidak bertemu satu sama lain. Aku harus bagaimana? Diam dan
tetap seperti ini, merindukan seseorang yang belum tentu merindukanmu juga,
atau mengatakan padanya kalau aku merindukannya? “Hah, aku bisa gila,” kataku
sambil mengacak-acak rambutku.
Tangan mungilku meraih ponsel berwarna biru aqua yang ada di
sebelahku. Aku mengetik nama itu, lalu aku menuliskan sebuah pesan untuknya.
Bisa kita bicara? Hari
ini pukul 5 sore di Coffee Shop dekat sekolah. Aku menunggumu.
5 menit berlalu ....
“mungkin dia belum membacanya,” kataku sambil terus
memandangi ponselku itu.
15 menit berlalu ....
“mungkin dia sedang mengetik untuk membalas pesanku,” aku
masih terus memandang ponsel itu.
40 menit berlalu ....
“mungkin dia lupa membalasnya,” aku sedikit menunduk lesu
dan mengalihkan pandangan dari ponsel.
1 jam berlalu ....
“mungkin pesanku tidak butuh jawaban. Aku ambil kesimpulan,
dia akan datang nanti. Ya, dia pasti datang,” aku meninggalkan ponselku dan
pergi ke kamar mandi.
Drrtt .... drrtt.... drrtt....
Ponselku berbunyi. Aku segera kembali dan mengambil
ponselku. Muncul nama dia di layar ponsel. Aku segera membukanya.
Baiklah. Aku sangat
penasaran apa yang akan kamu bicarakan. Bisakah kamu memberiku sedikit bocoran?
Haha
“hah. Laki-laki ini, tidak pernah bisa serius,” lalu dengan
segera aku membalas pesannya.
Datang tepat waktu.
Aku tidak suka menunggu terlalu lama. Ok?
Tidak lama aku menunggu, dia segera membalas pesanku.
Ya ya ya aku mengerti
Jantungku berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Apa aku
yakin akan melakukan ini? “Aku tidak sedang gila, kan? Haaahh,” kataku dengan
begitu cemas.
Satu jam lagi menuju pukul 5 sore. Aku sudah berada di dalam
mobil. Ya. Aku tidak ingin dia datang terlebih dahulu dariku. “Lalu lintas sore
ini kenapa macet? Hah. Sungguh menyebalkan,” kataku dengan terus mengklakson
dengan tidak sabar. Semakin mendekati cafe itu semakin dingin telapak tanganku.
Semakin banyak keringat dingin yang aku hasilkan. Betapa gelisahnya aku saat
ini.
45 menit berlalu. Sampailah aku di sebuah cafe yang menjadi
tempat favorit anak sekolah pada jaman dulu. Ya. Sampai sekarang pun. Dengan sedikit
mengatur nafas dan menegakkan kepalamemandang lurus ke depan, aku berjalan
menuju Coffee Shop dan memilih meja pojok. Agak terpencil memang. Tetapi aku
suka.
Menata hati sembari menunggunya di meja ini. Menyeruput segelas
Cappucino Ice yang sedikit menghilangkan rasa gelisah.
“Sudah lama menunggu?” kata seorang lelaki memakai kemeja
bermotif kotak-kotak yang cukup besar berwarna biru muda yang dipadupadankan
dengan warna putih juga biru tua. Rambut yang tertata rapi dan dengan sedikit
poni yang menutupi dahinya.
“Not really,” jawabku singkat sembari mengubah posisi
dudukku.
“Mau bicara apa?”
“Huuff” aku mengambil nafas panjang lalu mengeluarkannya
perlahan. Menggenggam tanganku erat-erat. Keringat dingin mulai menampakkan
keberadaannya.
“Nggak ada apa-apa sih. Bukan sesuatu yang penting,” aku
berhenti berbicara sejenak. Mengambil segelas Cappucino Ice ku lalu meminumnya.
Dia masih melihatku. Menatapku. Yah. Dia penasaran. Aku mengumpulkan semua
keberanianku untuk berbicara.
“Kau tau perasaanku? Aku menyukaimu. Iya. Aku menyukaimu. Sejak
kapan? Entah. Bertahun-tahun lalu sampai sekarang. Tolong jangan salah paham. Aku
tidak menembakmu. Aku hanya mengutarakan perasaan yang menyiksaku selama
bertahun-tahun. Aku harap setelah ini aku bisa melupakanmu dan menjalani cerita
baru bersama lelaki lain,” lanjutku. Aku berdiri. Berjalan meninggalkan cafe. Meninggalkan
dia sendiri disana dengan wajah terheran-heran. Aku tidak peduli bagaimana
respon dia terhadap ucapanku tadi. Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang
terus berjalan menuju mobil dan meyakinkan diri sendiri bahwa aku benar
mengatakan ini semua.
“Kau benar. Jangan menyesal. Ini keputusan terbaikmu. Kau sangat
keren,” kataku pada diriku sendiri. Yah semacam menghibur diri sendiri.
No comments:
Post a Comment