Tuesday, 30 July 2013

Confession

Kenapa kau masih tidak bisa melupakannya? Apa yang dia lakukan untukmu sampai kau seperti ini kepadanya? Apa dia memberimu kabar setiap hari? Apa dia memberimu bunga setiap hari? Apa dia mengucapkan ‘Selamat pagi’ setiap kau membuka mata di pagi hari?
Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di otakku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak tau. Aku merindukannya. Sungguh. Sudah lima tahun kita tidak bertemu satu sama lain. Aku harus bagaimana? Diam dan tetap seperti ini, merindukan seseorang yang belum tentu merindukanmu juga, atau mengatakan padanya kalau aku merindukannya? “Hah, aku bisa gila,” kataku sambil mengacak-acak rambutku.

Tangan mungilku meraih ponsel berwarna biru aqua yang ada di sebelahku. Aku mengetik nama itu, lalu aku menuliskan sebuah pesan untuknya.
Bisa kita bicara? Hari ini pukul 5 sore di Coffee Shop dekat sekolah. Aku menunggumu.
5 menit berlalu ....
“mungkin dia belum membacanya,” kataku sambil terus memandangi ponselku itu.
15 menit berlalu ....
“mungkin dia sedang mengetik untuk membalas pesanku,” aku masih terus memandang ponsel itu.
40 menit berlalu ....
“mungkin dia lupa membalasnya,” aku sedikit menunduk lesu dan mengalihkan pandangan dari ponsel.
1 jam berlalu ....
“mungkin pesanku tidak butuh jawaban. Aku ambil kesimpulan, dia akan datang nanti. Ya, dia pasti datang,” aku meninggalkan ponselku dan pergi ke kamar mandi.
Drrtt .... drrtt.... drrtt....
Ponselku berbunyi. Aku segera kembali dan mengambil ponselku. Muncul nama dia di layar ponsel. Aku segera membukanya.
Baiklah. Aku sangat penasaran apa yang akan kamu bicarakan. Bisakah kamu memberiku sedikit bocoran? Haha
“hah. Laki-laki ini, tidak pernah bisa serius,” lalu dengan segera aku membalas pesannya.
Datang tepat waktu. Aku tidak suka menunggu terlalu lama. Ok?
Tidak lama aku menunggu, dia segera membalas pesanku.
Ya ya ya aku mengerti
Jantungku berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Apa aku yakin akan melakukan ini? “Aku tidak sedang gila, kan? Haaahh,” kataku dengan begitu cemas.
Satu jam lagi menuju pukul 5 sore. Aku sudah berada di dalam mobil. Ya. Aku tidak ingin dia datang terlebih dahulu dariku. “Lalu lintas sore ini kenapa macet? Hah. Sungguh menyebalkan,” kataku dengan terus mengklakson dengan tidak sabar. Semakin mendekati cafe itu semakin dingin telapak tanganku. Semakin banyak keringat dingin yang aku hasilkan. Betapa gelisahnya aku saat ini.
45 menit berlalu. Sampailah aku di sebuah cafe yang menjadi tempat favorit anak sekolah pada jaman dulu. Ya. Sampai sekarang pun. Dengan sedikit mengatur nafas dan menegakkan kepalamemandang lurus ke depan, aku berjalan menuju Coffee Shop dan memilih meja pojok. Agak terpencil memang. Tetapi aku suka.
Menata hati sembari menunggunya di meja ini. Menyeruput segelas Cappucino Ice yang sedikit menghilangkan rasa gelisah.
“Sudah lama menunggu?” kata seorang lelaki memakai kemeja bermotif kotak-kotak yang cukup besar berwarna biru muda yang dipadupadankan dengan warna putih juga biru tua. Rambut yang tertata rapi dan dengan sedikit poni yang menutupi dahinya.
“Not really,” jawabku singkat sembari mengubah posisi dudukku.
“Mau bicara apa?”
“Huuff” aku mengambil nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Menggenggam tanganku erat-erat. Keringat dingin mulai menampakkan keberadaannya.
“Nggak ada apa-apa sih. Bukan sesuatu yang penting,” aku berhenti berbicara sejenak. Mengambil segelas Cappucino Ice ku lalu meminumnya. Dia masih melihatku. Menatapku. Yah. Dia penasaran. Aku mengumpulkan semua keberanianku untuk berbicara.
“Kau tau perasaanku? Aku menyukaimu. Iya. Aku menyukaimu. Sejak kapan? Entah. Bertahun-tahun lalu sampai sekarang. Tolong jangan salah paham. Aku tidak menembakmu. Aku hanya mengutarakan perasaan yang menyiksaku selama bertahun-tahun. Aku harap setelah ini aku bisa melupakanmu dan menjalani cerita baru bersama lelaki lain,” lanjutku. Aku berdiri. Berjalan meninggalkan cafe. Meninggalkan dia sendiri disana dengan wajah terheran-heran. Aku tidak peduli bagaimana respon dia terhadap ucapanku tadi. Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang terus berjalan menuju mobil dan meyakinkan diri sendiri bahwa aku benar mengatakan ini semua.

“Kau benar. Jangan menyesal. Ini keputusan terbaikmu. Kau sangat keren,” kataku pada diriku sendiri. Yah semacam menghibur diri sendiri.

No comments:

Post a Comment