Aku menunggunya di salah satu cafe di ujung jalan ini. Aku menunggunya sudah 15 menit. Tak sabar aku, lalu aku memesan cappucino ice favoritku sambil menanti kedatangannya. Aku membuka-buka majalah dan komik yang ada di meja. Hanya membukanya, tidak untuk membacanya. Karena aku sangat malas membaca komik maupun majalah. Aku lebih suka membaca novel yang tebal.
Tigapuluh menit sudah berlalu. Aku berulang kali menengok ke arah pintu, belum juga ada tanda-tanda kedatangannya. Aku masih tetap sabar menunggu.
"Hei," seseorang menepuk pundakku. Aku menengok ke arahnya. Aku mengerutkan alis.
"Kemana saja?" kataku meninggikan nada.
"Maaf, tadi ada urusan sebentar," katanya lalu duduk di samping dan langsung menyambar cappucino ice ku.
"Tsk! Pesan saja sendiri," aku mengambil kembali cappucino ice ku. Dia tertawa lalu memesan satu gelas kopi panas.
"Sudah lama menunggu?" tanyanya padaku sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
"Menurutmu?" jawabku singkat. Masih dongkol rasanya.
"Maaf ya," dia tersenyum. Aku merindukan senyum itu. Ah memang senyumnya menenangkan hati.
"Kau makin kurus saja. Apa kau di Paris terus menerus belajar sampai lupa makan?" katanya sambil memegang kedua pipiku.
"Tidak juga. Kau ini berlebihan," jawabku jengkel. Dia tertawa lagi.
"Kau juga tidak bertambah tinggi. Masih pendek seperti dulu, haha," ejeknya padaku. Aku kesal mendengarkanya. Aku menjitak kepalanya.
"Aww," dia menjerit kesakitan. Aku tak peduli.
Suasana menjadi hening sejenak. Aku tidak tau harus berbuat apa. Aku tidak tau harus berbicara apa. Membicarakan masalah apa dengan topik apa.
"Bagaimana?" katanya memecah suasana keheningan diantara kami.
"Bagaimana? Apanya?" aku mengerutkan alis. Mencoba mencerna apa yang dikatakannya.
"Masih menunggunya?" dia menanyakan hal yang sama. Entak yang keberapa kali. Aku memalingkan muka. Membuka salah satu majalah di meja, dan berpura-pura membacanya.
"Aku serius," lanjutnya sambil memegang tanganku. Aku menatapnya, dia juga menatapku dalam.
"Masih," jawabku datar. Ekspresi wajahnya berubah.
"WOW! Setia sekali," katanya dengan nada seperti marah. Aku hanya menghela nafas. .
"Bukan," kataku. Dia melihat ke arahku.
"Bukan kesetiaan, tapi kebodohan," lanjutku.
"Tsk! Memang. Kau bodoh," katanya dengan mantap. Aku menengok ke arahnya. Aku sedikit tersinggung. Tapi aku mencoba menenangkan diri.
"Iya, aku bodoh. Mencintai orang yang salah," kataku. Lalu aku berdiri dan beranjak pergi. Tapi dia menahanku.
"Lalu bagaimana denganku?" tanyanya padaku. Masih memenggenggam tanganku dan menahanku.
"Ada apa denganmu?" aku berbalik tanya. Berpura-pura lupa atas kejadian kemarin.
"Bagaimana dengan perasaanku selama lima tahun ini?" katanya padaku. Dia menatapku lekat-lekat. Aku terdiam mencoba mengalihkan pandanganku darinya.
"Hei wanita bodoh, aku mencintaimu," lanjutnya. Lalu dia memelukku. Aku hanya terdiam dan tidak membalasnya. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan.
"Bagaimana bisa? Kau kan sudah tau bahwa aku mencintai lelaki lain,"
"Bisa karena aku tidak peduli dengan hal itu,"
"Apa yang kau suka dariku dan bisa membuatmu bertahan sampai sekarang?"
"Ketidaksempurnaanmu,"
No comments:
Post a Comment