Monday, 10 December 2012

That Cafe

Aku berjalan menelusuri lorong-lorong kecil di kota tempat kelahiranku ini. Sudah lama rasanya aku tidak menginjakkan kakiku disini sejak aku mendapat beasiswa ke luar negeri. Ayah dan Ibuku lebih suka mengunjungiku disana, daripada aku harus pulang kesini, tempat dimana semua itu terjadi. Aku melihat secara detail setiap sudut kota ini. Hemm, begitu berbeda. Sudah berapa lama aku meninggalkannya? Ah hampir empat tahun. Ya, empat tahun. Lama sekali, bukan?
Aku mampir ke sebuah cafe yang berada di ujung jalan. Cafe ini, ternyata masih ada. Aku memasuki cafe dengan berbagai macam menu kopi dan minuman shake lainnya.
"Cappucino Ice satu ya," kataku kepada salah satu pelayan.
"Baik, nona. Tunggu sebentar" kata pelayan itu dengan sopan. Lalu meninggalkanku menuju dapur.
Aku mencari-cari seseorang.
Seorang teman yang sudah lama tidak bertemu. Aku sangat merindukannya. Apakah dia masih bekerja di cafe ini? Aku terus menelusuri seluruh sudut cafe ini dengan mataku. Tetapi tidak kutemukan tanda-tanda keberadaannya. Dengan rasa kecewa, aku mengambil sebuah majalah yang ada di depanku sambil menanti cappucino ice kesukaanku datang.
"Ini tuan putri, pesanan cappucino ice," kata seorang pelayan sambil meletakkan satu gelas cappucino ice di meja. Aku seperti mengenal suara itu juga mengenal sapaan itu. Aku menengok dan melihat lekat-lekat wajahnya yang agak tertutup topi.
"Hey, kamu. Apa kabar?" kataku dengan begitu gembiranya.
"Baik sekali tuan putri," jawab pelayan itu lalu duduk disampingku dan melepaskan topi kerjanya.
"Ternyata kamu masih bekerja disini. Aku tidak menyangka, kamu begitu betah disini. Apa begitu menyenangkan menjadi seorang pelayan cafe kecil?" candaku padanya. Dia tertawa. Tawa yang masih seperti dulu.
"Aku masih disini, karena aku percaya, suatu saat nanti, kamu pasti akan datang kembali," kata dia. Lalu tersenyum.
"Tsk! Kau ini," aku memalingkan muka. Sungguh saat itu juga aku ingin memeluknya. Aku sangat merindukannya.
"Kamuu,, apa masih belum bisa melupakannya?" dia memberiku pertanyaan seperti itu lagi. Dia berubah menjadi serius.
"Kenapa kau selalu menanyakan hal itu? Aku bosan mendengarnya," jawabku sambil meneguk cappucino ice ku.
"Hanya tinggal menjawab apa susahnya?" dia terus melihatku. Menanti sebuah jawaban dari bibirku.
"Belum, belum bisa," jawabku singkat.
"Hah, sudah ku tebak. Aku bosan mendengar kata belum," jawabnya dengan sedikit meninggikan nada.
"Kenapa? Memang begini. Kau marah? Kenapa? Kau tak ada urusan dengan ini," jawabku ketus. Aku mulai kesal dengan perkataannya tadi.
"Kamu. Gak peka!" dia benar-benar terlihat marah. Aku mulai bingung dengan perkataannya.
"Maksudmu?" aku mengernyitkan alisku.
"Tidakkah kau sadari aku menunggumu lebih dari lima tahun,"

No comments:

Post a Comment