cast :
-Jung Hana
-Han Yura
-Park Junsu
-Yang Mirae
Melangkahkan kaki dengan begitu beratnya. Tertunduk lesu. Tanpa semangat. Ya. Itulah aku. Sekarang. Tidak ada satu hal pun yang membuatku bersemangat setiap harinya. Tidak ada satu hal pun yang memotivasi diri ini untuk kembali bangkit. Apalah aku ini. Menyuramkan hari sendiri. Menyedihkan.
-Jung Hana
-Han Yura
-Park Junsu
-Yang Mirae
Melangkahkan kaki dengan begitu beratnya. Tertunduk lesu. Tanpa semangat. Ya. Itulah aku. Sekarang. Tidak ada satu hal pun yang membuatku bersemangat setiap harinya. Tidak ada satu hal pun yang memotivasi diri ini untuk kembali bangkit. Apalah aku ini. Menyuramkan hari sendiri. Menyedihkan.
Rindu.
Ya. Hati ini sedang merindu. Merindukan seseorang yang mungkin tidak
merindukanku kembali. Merindukan seseorang tanpa seseorang itu mengetahuinya. Merindu
tanpa dirindu. Merindu tanpa tau. Merindu tanpa mengerti. Merindu tanpa sadar. Hidupku
telah diperbudak oleh rindu. Rindu yang tak kunjung redam. Rindu yang tak
kunjung padam. Sebelum aku melihatnya, walau satu detik. Walau sekilas. Walau sekejap.
Rindu itu tak akan pernah pergi.
“Wae? Wae geurae?”
tanya seorang teman baikku, Yura namanya. Aku menggelengkan kepala. Melemparkan
senyum palsu kepadanya. Yura melihatku lebih dalam dengan mata lembutnya. Lalu dia
berkata, “Arra. Keumanhae, Hana-yah. Apa guna kamu memikirkannya?”. Aku tetunduk
lesu. Memalingkan muka dari hadapan Yura. Yah. Yura tau segalanya. Tau semuanya.
Tentangku. Bagaimana aku.
“Aku
tidak tau lagi. Mungkin ini cara Tuhan menjauhkanku darinya.”
“Menjauhkan?
Mungkin. Tuhan tau apa yang terbaik untukmu. Dia bukan untukmu.”
“Kalau
dia bukan untukku, mengapa aku susah melupakannya? Aku lelah seperti ini.”
“Melupakan
butuh proses.”
“Aku
sudah lama mencoba melupakannya. Tapi nihil.”
“Semakin
kamu mencoba melupakannya, semakin perasaan itu ada.”
“LALU
AKU HARUS BAGAIMANA, YURA?” aku sedikit meninggikan nada. Lalu pergi dari hadapan
Yura. Aku sedang ingin sendiri. Sendiri dalam duniaku.
Sudah
dua-puluh-sembilan-hari setelah dia memutuskan untuk resain dari pekerjaan ini,
aku tidak melihatnya. Benar benar rasa ini begitu mencabik-cabikku. Aku begitu
merindukannya. Sungguh.
Pekerjaan
terbengkalai. Deadline setiap saat. Haaahh. Aku bisa gila. Bagaimana bisa aku
diperbudak oleh perasaan seperti ini? Tapi aku tidak bisa bangkit. Tidak bisa. Selalu
kucoba. Tapi tidak pernah berhasil. Hell yeah. Dia benar benar membuat hidupku
kacau. Membuat perasaanku kacau. Membuat hati ini kacau.
“AAARRRRGGGHHTTT”
aku mengobrak-abrik meja kerjaku. Berantakan. Kertas-kertas penting itu
berjatuhan. Seperti semua orang melihat ke arahku. Aku tidak peduli. aku tidak
peduli. aku tidak peduli. Serasa seseorang mendekat ke arahku. Mengelus-elus
pundakku. Tak terasa jatuh air mataku. Air mata berhargaku yang tidak
sembarangan aku menjatuhkannya untuk seorang pria.
“Sudahlah, Hana. Keumanhae. Keumanhae jebal. Jangan menyiksa dirimu seperti ini,” Yura menenangkanku. Dengan lembut
dia menasehatiku. Selalu menasehatiku. Tanpa bosan dia terus menasehatiku. Aku beruntung
mempunyai teman seperti Yura Tuhan mengirimkan aku malaikat seperti dia. Aku beruntung.
Sangat beruntung.
Aku
terus menangis di pelukan Yura. Terus menangis dan terus menangis. Menangis tiada
henti seperti semuanya telah terlambat.
***
Berjalan
seperti biasa dengan sangat berat melangkahkan kaki. Tiba-tiba langkahku
terhenti. Aku melihat seseorang berhenti di depanku. Sepatu itu. Aku mengenalnya.
Aku sangat mengenalnya. Aku mendongak ke atas. Aku tersentak kaget. Benar. Dia. Junsu. Junsu Oppa. Junsu Oppa di depan mataku. Aku ingin memeluknya saat itu juga. Ingin kukatakan
bahwa selama ini aku merindukannya. Aku juga ingin mengatakan bahwa selama ini
aku juga mencintainya. Aku ingin mengatakan itu semua. Tapi aku menahannya. Membiarkan
mata kami bertemu satu sama lain terlebih dahulu. Tidak lama. Hanya beberapa
detik lalu dia menyapaku.
“Hana-yah,
lama tidak bertemu.” Aku tersenyum kepadanya.
“Ada
apa datang ke kantor? Rindu?” aku tertawa kecil. Dia pun tertawa. Mengikuti tawaku.
“Aku
ingin memberi ini.” Junsu Oppa mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sesuatu berwarna biru
muda. Sesuatu yang membuatku takut. Takut bukan main. Junsu Oppa memberikannya
kepadaku. Sesuatu itu bertuliskan Junsu-Mirae. Tanganku gemetaran. Jantungku berdegup sangat kencang, sepuluh-kali-lipat dari
biasanya. Darahku mengalir lebih cepat dari biasanya.
“Hana-yah. Oppa harap kamu datang. Oppa menunggumu.” Junsu Oppa tersenyum. Akupun tersenyum. Senyum palsu.
Menggores luka.
Oppa pergi. Masuk ke dalam mobil barunya. Aku masih terdiam. Terpaku. Aku menjatuhkannya.
Sesuatu berwarna biru muda itu.
“Hana-yah...
kamu... sudah mengetahuinya?” tanya Yura yang berada di belakangku. Aku terjatuh.
Yura menghampiriku. Aku mendengar suara Yura samar-samar memanggilku, "Hana-yah! Ireona! Hana-yah! Ireona jebal! Jung Hana!". Makin lama
suara Yura serasa makin jauh. Sampai aku tidak mendengar sama sekali. Duniaku gelap.
Duniaku sunyi. Entah. Aku tidak peduli. aku... tidak... peduli... lagi...
No comments:
Post a Comment