-----------------------------------------------------------------
"Aku mencintainya. Mungkin sudah lebih dari tiga tahun," katanya.
"Aku juga. Aku juga mencintainya. Sama. Lebih dari tiga tahun aku mencintainya," jawabku.
"Walaupun aku menyukai orang lain, perasaanku padanya melebihi apapun," lanjutnya.
"Sama halnya denganmu. Aku juga," jawabku tak mau kalah.
"Meskipun aku sudah pernah menyatakan perasaanku pada orang lain dan menjalin hubungan, tapi tetap hatiku hanya padanya," katanya dengan nada agak merendah.
"Aku? Tak pernah menyerahkan hatiku untuk orang lain. Tak pernah aku mencoba menjalin hubungan dengan orang yang aku hanya menyukainya. Meski orang itu lebih baik darinya. Karena aku takut menyakiti hati orang lain itu. Takut dia hanya menjadi pelampiasan," jawabku mantap. Dia memutar bola matanya dan menengok ke arahku, mungkin agak tersinggung.
"Maaf. Bukan maksudku," lanjutku. Aku menundukkan kepala. Dia memalingkan wajah.
"Aku berpikir dengan menjalin hubungan dengan orang lain, aku bisa melupakannya. Tapi ternyata tidak," dia melanjutkannya, berbicara dengan menatap bintang di langit.
"Aku berpikir dengan melakukan banyak kegiatan dan berpindah ke lingkungan baru, menjalani kehidupan baru, aku bisa melupakannya. Tapi ternyata itu semua tidak ada hasilnya," kataku.
"Aku selalu memandangnya dari kejauhan. Aku tidak berani berdekatan dengannya,"
"Akupun begitu. Melihatnya saja sudah ada kebahagiaan tersendiri,"
"Benar. Kau benar," katanya. Dia menengok padaku dan memberikan senyumannya.
"Aku suka senyumnya. Terlihat begitu tulus," lanjutnya. Dia tertawa. Kemudian kembali menatap langit, seperti sedang memandang seseorang. Mungkin membayangkan bagaimana cara seseorang yang diceritakannya itu tertawa.
"Aku suka senyumnya. Begitu lepas, sangat tulus, terlihat manis, menenangkan hati. Aku suka. Sangat suka," ucapku tak mau kalah.
"Wow. Seperti apa sih orang yang kamu ceritakan? Haha membuatku penasaran saja," katanya sambil tertawa. Tertawa lepas. Seperti tidak mempunyai beban apapun.
"Tsk! Mau tau saja," jawabku. Aku memalingkan muka. Kemudian merapihkan poniku yang sedikit berantakan.
"Dia sangat baik. Baik sekali. Dia juga lembut," lanjutnya.
"Dia juga!" ucapku tak mau kalah. Dia menoleh kepadaku dengan wajah sedikit terkejut.
"Dia baik. Sangat baik. Saking baiknya sampai terkadang membuat orang lain salah paham. Salah paham karena perasaan. Seharusnya dia lebih bisa mengendalikan kebaikannya. Terlalu baik juga tidak baik, kan?" lanjutku sambil menuangkan teh ke dalam cangkir lucu bergambar hello kitty itu. Dia mengangguk. Meng-iyakan ucapanku.
"Dia. Banyak orang menyukainya. Banyak orang ingin bersamanya," lanjutnya.
"Sama. Dia juga. Terlalu banyak yang dekat dengannya. Membuatku minder untuk mendekatinya. Hanya bisa diam dan tak melakukan pergerakan apapun," jawabku. Aku menunduk. Tibatiba air mataku jatuh. Aku meneteskannya. Aku tidak mau orang disampingku ini tau. Aku segera menghapusnya.
"Aku ingin bersamanya," ucapnya.
"Aku ingin bersamanya, hari ini, besok, dan selamanya," jawabku. Aku menyeruput teh yang ada dalam cangkir lucu bergambar hello kitty ini.
"Dia...." dia menghentikannya. Aku menengok ke arahnya.
"Dia wanita yang membuatku bisa sampai seperti ini," lanjutnya. Dia tersenyum. Aku memandangnya. Memandangnya penuh harapan bahwa yang dia ceritakan adalah aku. Tapi itu sangat tidak mungkin. Karena aku tau, siapa yang dia maksudkan.
"Dia............," aku sengaja menghentikan pembicaraanku. Dia menoleh padaku. Meminta aku untuk melanjutkannya.
"Dia adalah.......," aku masih menghentikannya. Dia masih menungguku. Menatapku dalam.
"Dia adalah kamu,"
---------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment